Sepuluh Tahun JKN: Indonesia Menyatukan Layanan Kesehatan lewat Gotong Royong
Jakarta — Sepuluh tahun lalu, tak banyak yang percaya bahwa negara kepulauan dengan ratusan suku ini mampu mewujudkan satu sistem jaminan kesehatan nasional yang menyatukan semuanya. Indonesia membuktikan hal yang nyaris mustahil: mencapai Universal Health Coverage (UHC) dalam waktu hanya satu dekade lebih cepat dari Jepang, dan Korea Selatan, apalagi negara-negara Eropa.
“Jerman butuh 127 tahun untuk mencapai UHC. Belgia 118 tahun, Jepang 36 tahun, Korea Selatan 12 tahun. Tapi Indonesia? hanya 10 tahun,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, dalam Public Expose 2024, dan dikutip Selasa (15/7/2025).
Disebutkan pada 2014, tahun awal peluncuran JKN, jumlah peserta baru sekitar 133 juta. Kini, angka itu melonjak menjadi 280,1 juta jiwa per Juli 2025, atau lebih dari 98 persen penduduk Indonesia telah terlindungi oleh sistem gotong royong ini. Ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa kehadiran negara kini nyata hingga ke pelosok desa dan pulau terluar.
Satu Sistem, Satu Semangat Pelayanan
Sebelum JKN hadir, Indonesia memiliki lebih dari 300 skema jaminan kesehatan, dari Askes, Jamsostek, hingga Jamkesmas daerah, masing-masing dengan regulasi dan layanan yang berbeda. Kini, semua telah disatukan dalam satu payung: JKN yang dikelola BPJS Kesehatan.
“Ini bukan hanya penyatuan sistem, tapi penyatuan semangat pelayanan. Dari Sabang sampai Merauke, semua mendapat perlakuan yang sama,” ujar Ghufron.
Dengan hanya membawa KTP atau NIK, masyarakat kini bisa berobat tanpa harus mengisi banyak dokumen. Tak ada biaya tambahan. Tak ada diskriminasi. Yang penting: pelayanan harus mudah, cepat, dan setara.
Transformasi dari Tantangan Menuju Kepercayaan
BPJS Kesehatan sempat menghadapi masa sulit: defisit keuangan, keterlambatan pembayaran klaim, dan skeptisisme masyarakat. Namun semua berhasil dibalikkan. Tahun 2024, lembaga ini mencatat surplus aset bersih, cash flow yang sehat, dan mampu membayar klaim di muka (down payment) untuk menjaga arus kas rumah sakit.
"Dulu rumah sakit banyak yang ragu. Sekarang, mereka yang datang minta kerja sama,” ungkap Ghufron.
Bahkan, kini tingkat kepuasan peserta mencapai 92 poin, dan pengeluaran pribadi untuk kesehatan (out-of-pocket spending) turun drastis dari hampir 50 persen menjadi hanya 25–28 persen. indikator kuat bahwa jaminan sosial ini semakin berdampak nyata.
Diakui Dunia: Indonesia Jadi Contoh Global
Pencapaian Indonesia tak hanya disambut pujian di dalam negeri. Presiden International Social Security Association (ISSA)—lembaga global yang menaungi lebih dari 160 negara, datang langsung ke Indonesia untuk menyerahkan penghargaan atas keberhasilan mencapai UHC tepat waktu.
“Bayangkan, dari 162 negara anggota ISSA, presidennya datang langsung ke Indonesia. Itu bukti bahwa gotong royong kita diakui dunia,” kata Ghufron, dengan bangga.
JKN: Gotong Royong Nyata yang Dirasakan Jutaan Orang
Ghufron menegaskan bahwa, JKN bukan sekadar sistem layanan kesehatan. Ia adalah karya besar bangsa, lahir dari gotong royong nyata, bukan slogan, tapi aksi. "Dari orang kaya hingga masyarakat miskin, dari yang sehat hingga yang sakit, semua terhubung dalam satu sistem yang adil dan manusiawi. Kalau mau lihat gotong royong terbesar di Indonesia, ya ini: JKN,” pungkasnya.
Dalam setiap kartu JKN yang dipegang warga, tersimpan lebih dari sekadar akses layanan kesehatan. Di dalamnya ada jaminan, kepastian, dan kehadiran negara, tanpa pandang status ekonomi atau lokasi tempat tinggal, dan di balik keberhasilan ini, ada peluh petugas lapangan, ketekunan tenaga medis, komitmen rumah sakit, dan jutaan warga yang mempercayai sistem ini. Inilah gotong royong Indonesia yang sesungguhnya dan dunia menyaksikannya.
0 Response to " Sepuluh Tahun JKN: Indonesia Menyatukan Layanan Kesehatan lewat Gotong Royong"
Posting Komentar